Selasa, 13 November 2012

coretan pintuluik ...

REFORMASI BIROKRASI (Permasalahan dan Solusi)

PENDAHULUAN
Birokrasi di Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, sepanjang Orde Baru kerap mendapat sorotan dan kritik yang tajam karena perilakunya yang tidak sesuai dengan tugas yang diembannya sebagai pelayan masyarakat. Sehingga apabila orang berbicara tentang birokrasi selalu berkonotasi negatif. Birokrasi adalah lamban, berbelit-belit, menghalangi kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur dibandingkan substansi, dan tidak efisien.
Bahkan pandangan para pengamat lebih jauh lagi tentang model birokrasi di Indonesia. Karl D Jackson menilai bahwa birokrasi di Indonesia adalah model bureaucratic polity

next written...

REVOLUSI

Perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilaisikap-sikap sosial, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat
Definisi dan pengertian tentang perubahan sosial menurut para ahli diantaranya adalah sebagai berikut :
  1. Kingsley Davis: perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.
  2. William F. Ogburn: perubahan sosial adalah perubahan yang mencakup unsur-unsur kebudayaan baik material maupun immaterial

MULTIKULTURALISME

A.    Pendahuluan
 Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mozaik. Di dalam mozaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mozaik tersebut.

REFORMASI BIROKRASI (Permasalahan dan Solusi)


PENDAHULUAN
Birokrasi di Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, sepanjang Orde Baru kerap mendapat sorotan dan kritik yang tajam karena perilakunya yang tidak sesuai dengan tugas yang diembannya sebagai pelayan masyarakat. Sehingga apabila orang berbicara tentang birokrasi selalu berkonotasi negatif. Birokrasi adalah lamban, berbelit-belit, menghalangi kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur dibandingkan substansi, dan tidak efisien.
Bahkan pandangan para pengamat lebih jauh lagi tentang model birokrasi di Indonesia. Karl D Jackson menilai bahwa birokrasi di Indonesia adalah model bureaucratic polity di mana terjadi akumulasi kekuasaan pada negara dan menyingkirkan peran masyarakat dari ruang politik dan Pemerintahan. Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic capitalism.
Sementara Hans Dieter Evers melihat bahwa proses birokrasi di Indonesia berkembang model birokrasi ala Parkinson dan ala Orwel. Birokrasi ala Parkinson adalah pola dimana terjadi proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktural dalam birokrasi secara tidak terkendali. Sedang birokrasi ala Orwel adalah pola birokratisasi sebagai proses perluasan kekuasaan Pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi, politik dan sosial dengan peraturan, regulasi dan bila perlu melalui paksaan.
Dengan demikian birokrasi di Indonesia tidak berkembang menjadi lebih efisien, tetapi justru sebaliknya inefisiensi, berbelit-belit dan banyak aturan formal yang tidak ditaati. Birokrasi di Indonesia ditandai pula dengan tingginya pertumbuhan pegawai dan pemekaran struktur organisasi dan menjadikan birokrasi semakin besar dan membesar. Birokrasi juga semakin mengendalikan dan mengontrol masyarakat dalam bidang politik, ekonomi dan sosial.
Cap birokrasi Indonesia seperti itu ternyata bukan sampai di situ saja, tetapi melalui pendekatan budaya birokrasi Indonesia masuk dalam kategori birokrasi patrimonial. Ciri-ciri dari birokrasi patrimonial adalah (1) para pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi; (2) jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan; (3) para pejabat mengontrol baik fungsi politik maupun fungsi administrasi; dan (4) setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.
Munculnya birokrasi patrimonial di Indonesia merupakan kelanjutan dan warisan dari system nilai tradisional yang tumbuh di masa kerajaan-kerajaan masa lampau dan bercampur dengan birokrasi gaya kolonial. Jadi, selain tumbuh birokrasi modern tetapi warisan birokrasi tradisional juga mewarnai dalam perkembangan birokrasi di Indonesia. Sama seperti halnya abdi dalem dan priyayi yang juga berlapis-lapis, pegawai negeri pun terdiri dari berbagai pangkat, golongan dan eselon. Semboyan pegawai negeri adalah abdi negara mengandung makna berorientasi ke atas, sehingga mirip dengan birokrasi kerajaan. Birokrasi lebih menekankan pada mengabdi ke atas dari pada ke bawah sebagai pelayanan kepada masyarakat.
Seharusnya secara teoritis sudah berubah yang tidak lagi seperti itu, tetapi harus menuju pada birokrasi ala Weber di mana birokrasi benar-benar menekankan pada aspek efisiensi, efektivitas, profesionalisme, dan pelayan masyarakat. Hal ini karena zaman telah berubah dengan adanya era reformasi dan otonomi daerah, maka seharusnya birokrasi mengalami perubahan paradigma di mana birokrasi harus memposisikan diri sebagai abdi masyarakat, efisien, efektif, dan profesionalisme.

PEMBAHASAN
Birokrasi berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor; dan kata “kratia” (cratein) yang berarti pemerintah. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh suatu kantor melalui kegiatan-kegiatan administrasi (Ernawan, 1988). Dalam konsep bahasa Inggris secara umum, birokrasi disebut dengan “civil service”. Selain itu juga sering disebut dengan public sector, public service atau public administration.
Birokrasi berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah suatu sistem kontrol dalam organisasi yang dirancang berdasarkan aturan-aturan yang rasional dan sistematis, dan bertujuan untuk mengkoordinasi dan mengarahkan aktivitas-aktivitas kerja individu dalam rangka penyelesaian tugas-tugas administrasi berskala besar (disarikan dari Blau & Meyer, 1971; Coser & Rosenberg, 1976; Mouzelis, dalam Setiwan,1998).
Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai :
1.      Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan
2.      Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.
Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya didefinisikan sebagai
1.      Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat.
2.      Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.
Berdasarkan definisi tersebut, pegawai atau karyawan dari birokrasi diperoleh dari penunjukan atau ditunjuk (appointed) dan bukan dipilih (elected).
     Weber membangun konsep birokrasi berdasar teori sistem kewarganegaraan yang dikembangkannya. Ada tiga jenis kewenangan yang berbeda. Kewenangan tradisional (traditional authority) mendasarkan legitimasi kewenangan pada tradisi yang diwariskan antar generasi. Kewenangan kharismatik (charismatic authority) mempunyai legitimasi kewenangan dari kualitas pribadi dan yang tinggi dan bersifat supranatural. Dan, kewenangan legal-rasional (legal-rational authority) mempunyai legitimasi kewenangan yang bersumber pada peraturan perundang-undangan.
            Dalam analisis Weber, organisasi “tipe ideal” yang dapat menjamin efisiensi yang tinggi harus mendasarkan pada otoritas legal-rasional., Weber mengemukakan konsepnya tentang the ideal type of bureaucracy dengan merumuskan ciri-ciri pokok organisasi birokrasi yang lebih sesuai dengan masyarakat modern, yaitu:
1.      A hierarchical system of authority (sistem kewenangan yang hierakis)
Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya. Pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya.
2.      A systematic division of labour (pembagian kerja yang sistematis)
Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hirarki dari atas ke bawah dan ke samping. Konsekuensinya ada jabatan atasan dan bawahan, dan adapula yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil.
3.      A clear specification of duties for anyoneworking in it (spesifikasi tugas yang jelas)
Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hirarki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya.
4.      Clear ang systematic diciplinary codes and procedures (kode etik disiplin dan prosedur yang jelas serta sistematis)
Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak.
5.      The control of operation through a consistent system of abstrac rules (kontrol operasi melalui sistem aturan yang berlaku secara konsisten)
Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin.
6.      A consistent applications of general rules to specific cases (aplikasi kaidah-kaidah umum kehal-hal  pesifik  dengan  konsisten)
Setipa pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan tingkatan hirarki jabatan yang disandangnya. Setipa pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya bisa diakhiri dalam keadaan tertentu.
7.      The selection of emfloyees on the basic of objectively determined qualivication (seleksi pegawai yang didasarkan pada kualifikasi standar yang objektif)
Setipa pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya hal tersebut dilakukan melalui ujian yang kompetitif.
8.      A system of promotion on the basis of seniority or merit, or both (sistem promosi berdasarkan senioritas atau jasa, atau keduanya)
Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan sesuai dengan pertimbangan yang objektif.
            Secara filosofis dalam paradigma Weberian, birokrasi merupakan organisasi yang rasional dengan mengedepankan mekanisme sosial yang “memaksimumkan efisiensi”. Pengertian efisiensi digunakan secara netral untuk mengacu pada aspek-aspek administrasi dan organisasi. Dalam pandangan ini, birokrasi dimaknai sebagai institusi formal yang memerankan fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. Jadi, birokrasi dalam pengertian Weberian adalah fungsi dari biro untuk menjawab secara rasional terhadap serangkaian tujuan yang ditetapkan pemerintahan.
            Konsep birokrasi dapat dikaitkan dengan 4 (empat) fungsi yang diemban sebuah birokrasi negara, yaitu:
  1. Fungsi instrumental, yaitu menjabarkan perundang-undangan dan kebijaksanaan publik dalam kegiatan-kegiatan rutin untuk memproduksi jasa, pelayanan, komoditi, atau mewujudkan situasi tertentu;
  2. Fungsi politik, yaitu memberi input berupa saran, informasi, visi, dan profesionalisme untuk mempengaruhi sosok kebijaksanaan;
  3. Fungsi katalis public interest, yaitu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan publik dan mengintegrasikan atau menginkorporasiklannya di dalam kebijaksanaan dan keputusan pemerintah; dan
  4. Fungsi entrepreneurial, yaitu memberi insipirasi bagi kegiatan-kegiatan inovatif dan non-rutin, megaktifkan sumber-sumber potensial yang idle, dan menciptakan resource-mix yang optimal untuk mencapai tujuan.

PERILAKU BIROKRASI
Saat ini nampaknya bukan jamannya lagi paradigma birokrasi atau aparatur pemerintah  sebagai raja   yang harus dilayani masyarakat, tapi merupakan suatu era di mana birokrasi merupakan abdi dan pelayan masyarakat serta berkewajiban mengurus rakyat, tidak hanya memberi perintah saja.  Oleh karena itu birokrasi harus dekat dengan rakyat, mengetahui kebutuhan masyarakat dan secara bersama-sama masyarakat berusaha mengatasi permasalahan masyarakat atau permasalahan publik, sehingga perencanaan program pembangunan  daerah benar-benar dapat ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Keluhan tentang birokrasi di manapun termasuk di Indonesia sampai sekarang tidak pernah berhenti, selama yang namanya organisasi pemerintah itu ada.  Kalau tidak maka tidak akan muncul istilah redtape(pengurusan yang berbelit), bribery(uang sogok, uang semir, uang suap), KKN, korupsi, nepotisme,  dan lain sebagainya.
a) Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN)
Korupsi dan Nepotisme hampir terdapat pada setiap aktivitas birokasi, baik di negara yang sudah maju maupun di negara sedang berkembang.  Namun hal tersebut kebanyakan terjadi di negara sedang berkembang yang biasanya sedang giat-giatnya membangun di segala bidang, di mana terkadang banyak bantuan mengalir dari negara donor.  Tindakan birokrat yang melakukan korupsi pasti memiliki latar belakang yang berbeda antara yang satu dengan lainnya. Sebagai contoh bahwa penyebab tindakan korupsi karena berlakunya kewajiban tradisional kepada keluarganya dan masih adanya sub struktur birokrasi patrimonial.  Keadaan ini berdampak positif bagi mereka tetapi akan merugikan negara secara menyeluruh.  Banyak faktor yang menyebabkan seseorang melakukan korupsi diantaranya adalah sifat demonstration effect yaitu sifat seseorang yang tidak mau kalah dengan penampilan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.  Mereka iri dengan kehidupan teman kantor, saudara atau tetangga yang memiliki tingkat pendapatan yang tinggi. Dilihat dari aspek hukum, dimana seorang koruptor tidak dihukum secara layak, menyebabkan orang lain juga memiliki keinginan untuk menirunya.  Toh dia berpikiran nanti kalau ketahuan tidak akan berdampak sangat buruk bagi diri maupun keluarganya.  Lingkungan budaya korupsi seperti ini menyebabkan akhirnya korupsi menjadi sesuatu yang lumrah yang akhirnya orang menjadi apatis terhadap usaha untuk memberantas korupsi.
b) Paternalisme
Corak paternalistik birokrasi di Indonesia lebih mencerminkan hubungan bapak dan anak (bapakisme) dan hal tersebut dianggap lebih halus dibandingkan dengan hubungan patron klien.  Dalam konsep Jawa hubungan antara atasan dan bawahan disamakan dengan posisi hubungan antara seorang anak dengan bapaknya.  Posisi anak dianggap lebih inferior.  Mereka tidak diberi kebebasan untuk mengutarakan pendapat, kepintarannya dianggap rendah dan walaupun lebih pintar dari bapaknya tidak boleh menggurui bapaknya. Karena seorang pegawai merasa memiliki hutang budi pada pimpinannya dimana pimpinannya dianggap mampu memberi perlindungan dan mencukupi kebutuhannya maka sang bawahan wajib memberikan rasa hormat yang tinggi dan mendalam kepada pimpinannya. Oleh karena itu maka yang menjadi ukuran pengangkatan atau pemilihan pejabat atau pegawai semata-mata hanya didasarkan loyalitas dan dukungannya.  Bukan menggunakan merit system yang seharusnya diterapkan yaitu suatu pemilihan dan pengangkatan pegawai atau pejabat yang didasarkan pada keahlian dan kecakapannya. Dewasa ini dapat dilihat para pejabat apakah itu setingkat Kepresidenan, Gubernuran, Kabupaten, mereka bukanlah orang-orang yang terpilih atas dasar keahlian tetapi semata-mata loyalitasnya.  Semua berlomba-lomba menunjukkan loyalitasnya saja.  Dengan demikian birokrasi patrimonialisme jelas sangat rawan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, kolusi serta  nepotisme (KKN).  Secara struktural dan kultural pengaruhnya sangat kuat. 

INSTITUSIONAL
1)  Kendala Institusional
Untuk meningkatkan peran dan kualitas birokrasi pemerintahan dalam memasuki era globalisasi  ini, maka sangat diperlukan dukungan birokrasi yang andal dan professional.  Namun demikian untuk menciptakan birokrasi pemerintahan yang efisien dan efektif organisasi pemerintah daerah nampaknya masih dihadapkan pada kendala institusional yang perlu dicarikan alternatif pemecahannya sebaik mungkin.
Pada umumnya secara organisatoris, struktur organisasi atau lembaga pemerintah cenderung besar, di mana hal tersebut terlihat dari cukup banyaknya kotak-kotak sebagai wadah jabatan struktural  dan manajerial. Dengan kondisi  tersebut dapat mengakibatkan makin panjangnya rantai hierarki dan pengawasan sehingga akhirnya akan mengurangi kualitas pemberian pelayanan kepada publik karena makin banyaknya titik atau simpul pembuatan keputusan.
Beberapa karakteristik dari organisasi pemerintah  yang menunjukkan ciri-ciri birokratis:
a)      Pemerintahan diorganisir  secara birokratis.
b)      Sistem penggajian organisasi pemerintah yang tidak memadai
c)      Organisasi pemerintah biasanya memiliki monopoli.
d)     Organisasi pemerintah hampir semuanya Diorganisir dalam bentuk hirarki berlapis-lapis.
2) Besarnya Aparat Birokrasi
Pada umumnya di negara-negara sedang berkembang terdapat situasi yang paradoksal, di satu pihak kekurangan pegawai yang cakap dan jujur, di lain pihak ada kecenderungan untuk tumbuh secara tidak seimbang sehingga menyebabkan pengangguran tidak kentara (disguised unemployment) dikarenakan berlebihnya pegawai yang tidak memenuhi kriteria dan standar yang telah ditetapkan. Dari beberapa pendapat para pakar maka di bawah ini diuraikan beberapa faktor yang mengakibatkan jumlah pegawai negeri atau aparatur pemerintahan sangat besar:
a.       Pada umumnya pelaksanaan pembangunan di negara sedang berkembang    dan tingkat pertumbuhan ekonominya masih rendah sehingga tidak banyak tercipta lapangan kerja terutama di sektor produksi, sehingga semua perhatian tercurah ingin menjadi pegawai negeri walaupun dengan gaji rendah.  Apalagi jika suatu negara berkembang tidak mempunyai kekayaan yang dapat dieksplorasi dan dapat mengundang investor, maka pembangunan juga terbatas sehingga menyebabkan kurang dapat menyerap tenaga kerja.
b.      Karena kurangnya daya serap negara dalam menerima tenaga kerja, maka masalah pengangguran masih menjadi kendala yang sebagian besar dihadapi oleh negara-negara sedang berkembang.  Untuk mengurangi tingkat pengangguran serta mengurangi tindak kriminalitas yang mungkin   dilakukan oleh para pengangguran yang sebagian besar mempunyai tingkat pendidikan yang rendah dan tidak mempunyai keterampilan tersebut maka pemerintah merekrut mereka sebanyak-banyaknya. Hal itu dilakukan semata lebih ditujukan untuk kepentingan strategis, sehingga kurang mementingkan tingkat keahlian yang diinginkan dalam setiap penerimaan pegawai baru.
c.       Terdapat kecenderungan orang yang sudah menjadi pegawai negeri untuk menarik saudaranya untuk menjadi pegawai negeri juga.  Solidaritas yang dilakukan semacam ini karena pada umumnya dilakukan untuk membantu saudaranya dan agar dianggap sebagai dewa penyelemat keluarga atau keluarga besarnya karena mungkin mereka dari keluaraga yang kurang mampu.  Sehingga bagi mereka yang telah menduduki jabatan sebagai pegawai negeri ada rasa keinginan untuk membantu saudaranya.  Kondisi seperti ini akan rawan dengan KKN  karena cara-cara seperti itu dapat menyalahi aturan atau prosedur dalam penerimaan calon pegawai.  Apalagi bila informasi penerimaan pegawai baru hanya dia yang mempunyai sehingga secara diam-diam dia memberitahu saudaranya jika ada penerimaan pegawai baru, dan tidak mengumumkan secara terbuka di media masa. 
d.      Untuk sebagian orang, menduduki jabatan sebagai pegawai negeri mempunyai derajat yang lebih tinggi, dan bangga jika disebut sebagai pegawai negeri, walaupun gajinya rendah.  Yang penting status tersebut dapat dimiliki  dan  membanggakan dirinya.  Memang tidak dapat dipungkiri anggapan itu dan masih ada sampai sekarang khususnya bagi orang-orang tua  yang tinggal di perdesaan.  Mereka menyekolahkan anaknya pada umumnya tidak diarahkan ke sekolah di bidang profesional atau kejuruan, tapi ke bidang yang terkait dengan kerja kantoran, terutama kantor pemerintah.  Namun pandangan seperti ini untuk Indonesia sudah jauh berkurang karena pandangan rasional yang muncul dimana status pegawai negeri sudah mulai ditinggalkan dan bahkan bangga menjadi pegawai swasta dengan gaji yang relatif tinggi, walaupun harus kerja sampai malam hari. 

DAMPAK BIROKRASI YANG BURUK
Perilaku birokrasi yang buruk baik birokrasi sebagai individu maupun birokrasi sebagai insitutsi mempunyai dampak yang mergikan masyarakat secara umum.
Adapun dampak birokrasi yang buruk antara lain:
A) Inefisiensi  Organisasi
Konsep inefisiensi organisasi  adalah usaha pencapaian tujuan organisasi yang ditandai adanya kinerja yang kurang maksimal seperti usaha kerja yang lamban, tidak mementingkan pelayanan yang baik, tidak kerja secara penuh, kurang inisiatif  dan terlalu banyak formalitas. E. Strauss menyebutkan beberapa gejala-gejala birokrasi yang tidak efisien, yaitu:
1)  Terlalu percaya kepada presiden
Karena telah tersusun dengan pola-pola birokrasi yang jelas terutama adanya otoritas atasan dan bawahan maka membuat seorang atasan  terlalu dominan dalam segala hal.  Misalnya, dalam pengambilan keputusan, hak bersuara, seolah-olah dialah yang paling menentukan segala-galanya termasuk mati hidupnya pegawainya.   Sebaliknya, bawahan diharuskan patuh, menurut apa yang dikendaki oleh atasannya, walaupun terkadang menyimpang dari aturan formal yang berlaku pada organisasi tersebut sehingga sering terjadi adanya ekspoitasi atasan kepada bawahan di luar tugas-tugas birokrasi, misalnya terjadi skandal asusila antara atasan pria dan bawahan wanita.
2)  Kurang inisiatif
Sistem birokrasi memang dibentuk tidak banyak memberi peluang kepada anggota organisasi untuk berinisiatif.  Semua yang dikerjakan sudah dalam  bentuk perintah, keputusan, aturan-atuarn yang terkadang kaku, tidak fleksibel, menurut aturan secara ketat.  Dengan demikian lama kelamaan  mereka yang berkecimpung di birokrasi khususnya staf, hanya bekerja jika ada perintah dan bersifat menunggu saja, dan harus sesuai dengan peraturan yang berlaku.Gejala birokrasi yang tidak efisien menurut E Strauss adalah terlalu banyak formalitas, hal ini dimaksudkan bahwa birokrat bekerja berdasarkan  aturan/surat keputusan yang sudah baku sehingga si birokrat harus bersikap dan bertingkah laku formal, semua yang dikerjakan sesuai dengan prosedur dan tidak berani menyimpang dari prosedur sehingga  terkesan kaku dan sering membuat  yang dilayani menjadi kesal.
3)  Lamban dalam berbagai urusan
Lamban dalam pekerjaan berarti para birokrat bekerjanya tidak cekatan dan kelihatannya tidak ada motivasi dan etos kerja yang tinggi dalam melaksanakan pekerjaan, dan juga menunda-nunda pekerjaan.  Harusnya pekerjaan tersebut dapat selesai dalam 3 hari, karena selalu menunda pekerjaan itulah maka pekerjaan tersebut menjadi mundur sampai dengan 7 hari.
Beberapa penyebab urusan menjadi lamban adalah:
  1. mereka merasa tidak ada manfaatnya secara langsung bagi diri sendiri apabila mengerjakan pekerjaan sesuai dengan waktunya atau malahan lebih cepat. Berbeda dengan birokrat yang langsung berhubungan dengan masyarakat, maka sebagai ujung tombak mereka mungkin akan mendapatkan imbalan secara langsung dari mereka yang dilayani.  Bagi mereka hal itu akan menambah semangat dalam bekerja.  Namun sebaliknya, bila pelayanan yang diberikan  tersebut tidak menghasilkan  penghasilan tambahan, maka mereka akan mengerjakan pekerjaan tersebut dengan asal-asalan saja.
  2. birokrasi yang terlalu formal sehingga menyebabkan terhambatnya pelayanan kepada masyarakat.  Jika ada suatu pekerjaan yang perlu ditandatangani oleh seorang pejabat yang berwenang kemudian pejabat tersebut tidak ada maka tidak dapat diwakilkan kepada bawahannya.  Hal seperti ini jelas akan merugikan mereka yang membutuhkan pelayanan selain juga akan menyulitkan para pegawai bawahannya yang sebetulnya mempunyai keinginan untuk membantu mempercepat pekerjaan.  Sebaliknya ada kekawatiran, jika dokumen tersebut ditandangani ada kemungkinan ketakutan dokumen tersebut tidak sah, tidak berlaku alias menyalahi aturan.
B) Rendahnya Kepuasan Publik
Sampai saat ini nampaknya kepuasan masyarakat terhadap kinerja birokrasi masih rendah.  Sebagai contoh sewaktu jatuhnya pemerintahan Soeharto, terjadi  protes dan demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai komponen masyarakat terhadap birokrasi publik, baik di tingkat pusat ataupun daerah.  Pendudjukan kantor pemerintah, pemaksaan oleh warga masyarakat terhadap aparatur pemerintah, ataupun blokade jalan oleh masyarakat menunjukkan unsur ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap kinerja birokrasi yang buruk.   Selain itu seringnya kegiatan demonstrasi yang muncul di media masa, menunjukkan betapa besarnya akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap birokrasi . 
  C)Menurunnya dukungan masyarakat
Birokrasi masih dipersepsikan dan dianggap  sebagai alat penguasa daripada pelayan masyarakatnya.  Kepentingan penguasa cenderung menjadi sentral dari kehidupan dan perilaku birokrasi.  Hal ini tercermin dalam proses kebijakan publik yang kepentingan penguasa itu selalu menjadi kriteria yang dominan dan seringkali menggusur kepentingan masyarakat banyak manakala keduanya tidak berjalan bersama-sama. Kesempatan dan ruang yang dimiliki oleh masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan publik selam ini juga amat terbatas.  Akibatnya, banyak kebijakan publik dan program-program pemerintah yang tidak responsif serta mengalami kegagalan karena tidak memperoleh dukungan dari masyarakat.

SOLUSI
   Langkah-langkah dalam rangka pembenahan kelembagaan birokrasi yang harus mendapatkan perhatian antara lain (Kristiadi, 1996) :
  • Menyederhanakan struktur satuan organisasi melalui kajian kelembagaan yang cermat dan objektif dengan mengembangkan jabatan fungsional yang mengarah kepada spesialisasi dan prestasi. 
  • Mengembangkan jaringan kerja berdasarkan asas fungsional dan keterkaitan sehingga mendorong berkembangnya mekanisme kerjasama yang bersifat mutual adjustment dan networking model antara dan antarinstansi dilandasi dengan informal relations.         
  • Mengembangkan institusi dalam arti capacity building yang diimbangi dengan kualitas SDM yang makin meningkat melalui program pendidikan dan pelatihan dengan dukungan rencana dan pola karir yang jelas
  • Menyusun berbagai standard operating procedures (SOP) dalam berbagai bidang kegiatan agar terdapat pedoman yang tetap, tanpa tergantung pada seorang pejabat sehingga memungkinkan berlangsungnya sistem kerja yang mantap walaupun pejabatnya berganti karena mutasi atau promosi.
  • Mengembangkan pembentukan kader pimpinan sedini mungkin untuk menempati posisi-posisi kunci berdasarkan sistem prestasi kerja, dibarengi dengan pengakuan dan penghargaan bagi yang berprestasi dan menindak bagi yang melanggar atau melakuan penyimpangan
  • Mengembangkan keterbukaan dan peranserta dalam penyusunan rencana dan program kerja termasuk dalam pengambilan keputusan sehingga dapat menumbuhkan kebersamaan dan rasa memiliki tanggung jawab organisatoris.
Pelaksanaan reformasi birokrasi pemerintah harus mampu mendorong perbaikan dan peningkatan kinerja birokrasi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Kinerja akan meningkat apabila ada motivasi yang kuat secara keseluruhan, baik di pusat maupun di daerah. Motivasi akan muncul jika setiap program/kegiatan yang dilaksanakan menghasilkan keluaran (output), nilai tambah (value added), hasil (outcome), dan manfaat (benefit) yang lebih baik dari tahun ke tahun, disertai dengan sistem reward dan punishment yang dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan. Kunci keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi terletak pada beberapa hal berikut(Lampiran Peraturan Presiden No.81 thun 2010).
a. Komitmen Nasional
Komitmen nasional ditunjukkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025, Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014 yang menegaskan reformasi birokrasi sebagai prioritas utama, dan Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2010 tentang Pembentukan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional.
b. Penggerak Reformasi Birokrasi
Penggerak reformasi birokrasi secara nasional adalah Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dipimpin oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Tim Reformasi Birokrasi Nasional dipimpin oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dibantu oleh Unit Pengelola Reformasi Birokrasi Nasional, Tim Independen dan Tim Quality Assurance. Selanjutnya, secara instansional penggerak reformasi birokrasi adalah pimpinan K/L dan Pemda. Penggerak reformasi birokrasi harus berdaya tahan tinggi terhadap tantangan dan hambatan serta memiliki daya dobrak dan kreativitas untuk melaksanakan program-program terobosan, baik secara horisontal maupun vertikal.
c. Muatan Reformasi Birokrasi
Muatan reformasi birokrasi dirumuskan dalam GDRB 2010-2025, RMRB 2010-2014, RMRB 2015-2019, dan RMRB 2020-2024. Pelaksanaan reformasi birokrasi dilakukan dengan penetapan prioritas K/L dan Pemda berdasarkan kepentingan strategis bagi negara dan manfaat bagi masyarakat.
d. Proses Reformasi Birokrasi
Proses reformasi birokrasi dilakukan dengan cara:
1) Desentralisasi
Setiap K/L dan Pemda melakukan langkah-langkah reformasi birokrasi dengan mengacu kepada GDRB 2010-2025 dan RMRB 2010-2014 dan seterusnya, sesuai dengan karakteristik masingmasing institusi.
2) Serentak dan bertahap
Penyebarluasan pemahaman tentang GDRB 2010-2025 dan RMRB 2010-2014 dan seterusnya, dilakukan secara serentak kepada seluruh K/L dan Pemda dalam rangka efektivitas pencapaian target sasaran pelaksanaan reformasi birokrasi. Setiap K/L dan Pemda memiliki karakteristik yang berbeda sehingga reformasi birokrasi dilakukan dengan titik awal dan kecepatan yang berbeda. Format yang sama diterapkan untuk K/L dan Pemda secara bertahap sesuai dengan kesiapan masing-masing K/L dan Pemda.
3) Koordinasi
Reformasi birokrasi dilakukan dengan langkah-langkah yang terkoordinasi secara nasional dengan acuan GDRB 2010-2025 dan RMRB 2010-2014 dan seterusnya. Reformasi birokrasi dikoordinasikan secara nasional oleh Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional, pelaksanaan sehari-hari dilaksanakan oleh Tim Reformasi Birokrasi Nasional, dan implementasi program-program dilaksanakan oleh K/L dan Pemda, serta dimonitor dan dievaluasi

KESIMPULAN
Pertumbuhan kekuasaan dalam birokrasi pemerintah sejalan dengan tumbuh dan berkembangnya pemerintahan  itu sendiri. Tumbuh dan berkembangnya pemerintahan itu adakalanya disebabkan karena berkembangnya fungsi sosio-ekonomi, karena tekanan ideologi dan politik untuk mengembangkan pendapatan. Adakalanya karena pengaruh klasifikasi dari kegiatan kebijakan publik. Ada juga karena kenaikan budget dan bertambahnya personal yang mengerjakan kegiatan-kegiatan pemerintah. Kesemuanya itu membawa pengaruh yang besar sekali bagi masyarakat. Lebih dari itu tidak ada lagi organisasi masyarakat lainnya yang mempu menandingi kekuasaan yang tumbuh dan berkembang pada pemerintahan.
Aparatur harus sadar bahwa reformasi birokrasi akan mengubah birokrasi pemerintah menjadi birokrasi yang kuat dan menjadi pemerintahan kelas dunia, yang mampu memberikan fasilitasi dan pelayanan publik yang prima dan bebas dari KKN. Untuk itu, reformasi birokrasi harus dilakukan secara sungguh-sungguh, konsisten, melembaga, bertahap, dan berkelanjutan. Dengan demikian, diharapkan akan terbentuk birokrasi yang mampu mendukung dan mempercepat keberhasilan pembangunan di berbagai bidang. Kegiatan ekonomi akan semakin meningkat dan secara agregat akan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Dengan kegiatan ekonomi yang semakin luas, akan tersedia basis penerimaan negara yang lebih besar untuk membiayai keberlanjutan reformasi birokrasi dan pembangunan di bidang lainnya yang lebih luas.
Birokrasi dalam suatu Negara sudah pasti ada dan terlaksanan hanya saja bagaimana cara penerapan yang semestinya dan yang diharapkan oleh masyarakat, oleh sebab itu dalam menjalankan birokrasi harus sesuai dengan tugas yang diemban yang dikerjakan dengan professional, serta dalam birokrasi tersebut harus adanya aspek transparansi atau keterbukaan dan efisien serta efektifitas dalam pelaksanaannya dan secara periodik, berkelanjutan, dan melembaga.



DAFTAR PUSTAKA
·         Effendi, Sofian (1995) “Kepemimpinan Birokrasi Publik Pasca 2000: Fungsi, Kualitas dan system Pendidikan “, Seminar Jurusan Ilmu Adminstrasi Negara Fisipol UGM, Yogyakarta.
·         Lampiran Peraturan Presiden No 81 Tahun 2010 Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025.
·         Madjid, Nurkholis (1999) “Masyarakat Madani dan Investasi demokrasi” Tulisan dalam Harian Republika, tgl 9,10,11 Agustus 1999.
·         Maschab, Mashuri (1983) ”Kekuasaan Eksekutif di Indonesia,  Bina Aksara, Jakarta.
·         Thoha, Miftah (1999) ”Membangun Kembali Birokrasi Pemerintah”,  Dalam Harian Umum Republika, 8 November
·         Thoha, Miftah(2003) “Birokrasi dan Politik di Indonesia” Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Tjokrowinoto, Moeljarto (1998) Reposisioning Birokrasi Pemerintah” , Makalah Seminar Nasional Mahasiswa Administrasi Negara, Unhas, Ujung Pandang.