PENDAHULUAN
Birokrasi
di Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, sepanjang Orde
Baru kerap mendapat sorotan dan kritik yang tajam karena perilakunya yang tidak
sesuai dengan tugas yang diembannya sebagai pelayan masyarakat. Sehingga
apabila orang berbicara tentang birokrasi selalu berkonotasi negatif. Birokrasi
adalah lamban, berbelit-belit, menghalangi kemajuan, cenderung memperhatikan
prosedur dibandingkan substansi, dan tidak efisien.
Bahkan
pandangan para pengamat lebih jauh lagi tentang model birokrasi di Indonesia.
Karl D Jackson menilai bahwa birokrasi di Indonesia adalah model bureaucratic
polity di mana terjadi akumulasi kekuasaan pada negara dan menyingkirkan
peran masyarakat dari ruang politik dan Pemerintahan. Richard Robinson dan King
menyebut birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic capitalism.
Sementara
Hans Dieter Evers melihat bahwa proses birokrasi di Indonesia berkembang model
birokrasi ala Parkinson dan ala Orwel. Birokrasi ala Parkinson adalah pola
dimana terjadi proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktural
dalam birokrasi secara tidak terkendali. Sedang birokrasi ala Orwel adalah pola
birokratisasi sebagai proses perluasan kekuasaan Pemerintah dengan maksud
mengontrol kegiatan ekonomi, politik dan sosial dengan peraturan, regulasi dan
bila perlu melalui paksaan.
Dengan
demikian birokrasi di Indonesia tidak berkembang menjadi lebih efisien, tetapi
justru sebaliknya inefisiensi, berbelit-belit dan banyak aturan formal yang
tidak ditaati. Birokrasi di Indonesia ditandai pula dengan tingginya
pertumbuhan pegawai dan pemekaran struktur organisasi dan menjadikan birokrasi
semakin besar dan membesar. Birokrasi juga semakin mengendalikan dan mengontrol
masyarakat dalam bidang politik, ekonomi dan sosial.
Cap
birokrasi Indonesia seperti itu ternyata bukan sampai di situ saja, tetapi
melalui pendekatan budaya birokrasi Indonesia masuk dalam kategori birokrasi
patrimonial. Ciri-ciri dari birokrasi patrimonial adalah (1) para pejabat
disaring atas dasar kriteria pribadi; (2) jabatan dipandang sebagai sumber
kekayaan dan keuntungan; (3) para pejabat mengontrol baik fungsi politik maupun
fungsi administrasi; dan (4) setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi
dan politik.
Munculnya
birokrasi patrimonial di Indonesia merupakan kelanjutan dan warisan dari system
nilai tradisional yang tumbuh di masa kerajaan-kerajaan masa lampau dan
bercampur dengan birokrasi gaya kolonial. Jadi, selain tumbuh birokrasi modern
tetapi warisan birokrasi tradisional juga mewarnai dalam perkembangan birokrasi
di Indonesia. Sama seperti halnya abdi dalem dan priyayi yang juga berlapis-lapis, pegawai negeri pun terdiri
dari berbagai pangkat, golongan dan eselon. Semboyan pegawai negeri adalah abdi
negara mengandung makna berorientasi ke atas, sehingga mirip dengan birokrasi
kerajaan. Birokrasi lebih menekankan pada mengabdi ke atas dari pada ke bawah
sebagai pelayanan kepada masyarakat.
Seharusnya
secara teoritis sudah berubah yang tidak lagi seperti itu, tetapi harus menuju
pada birokrasi ala Weber di mana birokrasi benar-benar menekankan pada aspek
efisiensi, efektivitas, profesionalisme, dan pelayan masyarakat. Hal ini karena
zaman telah berubah dengan adanya era reformasi dan otonomi daerah, maka
seharusnya birokrasi mengalami perubahan paradigma di mana birokrasi harus
memposisikan diri sebagai abdi masyarakat, efisien, efektif, dan
profesionalisme.
PEMBAHASAN
Birokrasi
berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor; dan kata “kratia”
(cratein) yang berarti pemerintah. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk
menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh
suatu kantor melalui kegiatan-kegiatan administrasi (Ernawan, 1988). Dalam
konsep bahasa Inggris secara umum, birokrasi disebut dengan “civil service”.
Selain itu juga sering disebut dengan public sector, public service atau public
administration.
Birokrasi berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli
adalah suatu sistem kontrol dalam organisasi yang dirancang berdasarkan
aturan-aturan yang rasional dan sistematis, dan bertujuan untuk mengkoordinasi
dan mengarahkan aktivitas-aktivitas kerja individu dalam rangka penyelesaian
tugas-tugas administrasi berskala besar (disarikan dari Blau & Meyer, 1971;
Coser & Rosenberg, 1976; Mouzelis, dalam Setiwan,1998).
Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi
didefinisikan sebagai :
1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena
telah berpegang
pada hirarki dan jenjang jabatan
2. Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta
menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan
sebagainya.
Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya
didefinisikan sebagai
1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang
tidak dipilih oleh rakyat.
2.
Cara
pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.
Berdasarkan definisi
tersebut, pegawai atau karyawan dari birokrasi diperoleh dari penunjukan atau
ditunjuk (appointed) dan bukan dipilih (elected).
Weber
membangun konsep birokrasi berdasar teori sistem kewarganegaraan yang
dikembangkannya. Ada tiga jenis kewenangan yang berbeda. Kewenangan tradisional
(traditional authority) mendasarkan legitimasi kewenangan pada tradisi yang
diwariskan antar generasi. Kewenangan kharismatik (charismatic authority)
mempunyai legitimasi kewenangan dari kualitas pribadi dan yang tinggi dan
bersifat supranatural. Dan, kewenangan legal-rasional (legal-rational
authority) mempunyai legitimasi kewenangan yang bersumber pada peraturan
perundang-undangan.
Dalam analisis Weber, organisasi “tipe ideal” yang dapat menjamin
efisiensi yang tinggi harus mendasarkan pada otoritas legal-rasional., Weber
mengemukakan konsepnya tentang the ideal type of bureaucracy dengan merumuskan
ciri-ciri pokok organisasi birokrasi yang lebih sesuai dengan masyarakat
modern, yaitu:
1.
A
hierarchical system of authority (sistem kewenangan yang hierakis)
Individu pejabat secara personal
bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas
atau kepentingan individual dalam jabatannya. Pejabat tidak bebas menggunakan
jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya.
2.
A
systematic division of labour (pembagian kerja yang sistematis)
Jabatan-jabatan itu disusun dalam
tingkatan hirarki dari atas ke bawah dan ke samping. Konsekuensinya ada jabatan
atasan dan bawahan, dan adapula yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada
yang lebih kecil.
3. A clear specification of duties for anyoneworking in it
(spesifikasi tugas yang jelas)
Tugas
dan fungsi masing-masing jabatan dalam hirarki itu secara spesifik berbeda satu
sama lainnya.
4. Clear ang systematic diciplinary codes and procedures (kode etik
disiplin dan prosedur yang jelas serta sistematis)
Setiap
pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas (job
description) masing-masing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan
tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak.
5. The control of operation through a consistent system of abstrac
rules (kontrol operasi melalui sistem aturan yang berlaku secara konsisten)
Setiap
pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang
dijalankan secara disiplin.
6. A consistent applications of general rules to specific cases
(aplikasi kaidah-kaidah umum kehal-hal pesifik dengan
konsisten)
Setipa
pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan
tingkatan hirarki jabatan yang disandangnya. Setipa pejabat bisa memutuskan
untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan
kontraknya bisa diakhiri dalam keadaan tertentu.
7. The selection of emfloyees on the basic of objectively determined
qualivication (seleksi pegawai yang didasarkan pada kualifikasi standar yang
objektif)
Setipa
pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya hal
tersebut dilakukan melalui ujian yang kompetitif.
8. A system of promotion on the basis of seniority or merit, or both
(sistem promosi berdasarkan senioritas atau jasa, atau keduanya)
Terdapat
struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas
dan sesuai dengan pertimbangan yang objektif.
Secara filosofis dalam paradigma Weberian, birokrasi merupakan
organisasi yang rasional dengan mengedepankan mekanisme sosial yang
“memaksimumkan efisiensi”. Pengertian efisiensi digunakan secara netral untuk
mengacu pada aspek-aspek administrasi dan organisasi. Dalam pandangan ini,
birokrasi dimaknai sebagai institusi formal yang memerankan fungsi pengaturan,
pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. Jadi, birokrasi dalam
pengertian Weberian adalah fungsi dari biro untuk menjawab secara rasional
terhadap serangkaian tujuan yang ditetapkan pemerintahan.
Konsep birokrasi dapat dikaitkan dengan 4 (empat) fungsi yang diemban
sebuah birokrasi negara, yaitu:
- Fungsi
instrumental, yaitu menjabarkan perundang-undangan dan kebijaksanaan
publik dalam kegiatan-kegiatan rutin untuk memproduksi jasa, pelayanan,
komoditi, atau mewujudkan situasi tertentu;
- Fungsi
politik, yaitu memberi input berupa saran, informasi, visi, dan
profesionalisme untuk mempengaruhi sosok kebijaksanaan;
- Fungsi
katalis public interest, yaitu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan
publik dan mengintegrasikan atau menginkorporasiklannya di dalam
kebijaksanaan dan keputusan pemerintah; dan
- Fungsi
entrepreneurial, yaitu memberi insipirasi bagi kegiatan-kegiatan inovatif
dan non-rutin, megaktifkan sumber-sumber potensial yang idle, dan
menciptakan resource-mix yang optimal untuk mencapai tujuan.
PERILAKU BIROKRASI
Saat ini
nampaknya bukan jamannya lagi paradigma birokrasi atau aparatur pemerintah sebagai raja
yang harus dilayani masyarakat, tapi merupakan suatu era di mana
birokrasi merupakan abdi dan pelayan masyarakat serta berkewajiban mengurus
rakyat, tidak hanya memberi perintah saja.
Oleh karena itu birokrasi harus dekat dengan rakyat, mengetahui
kebutuhan masyarakat dan secara bersama-sama masyarakat berusaha mengatasi
permasalahan masyarakat atau permasalahan publik, sehingga perencanaan program
pembangunan daerah benar-benar dapat
ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Keluhan tentang birokrasi di manapun
termasuk di Indonesia sampai sekarang tidak pernah berhenti, selama yang
namanya organisasi pemerintah itu ada.
Kalau tidak maka tidak akan muncul istilah redtape(pengurusan yang
berbelit), bribery(uang sogok, uang semir, uang suap), KKN, korupsi,
nepotisme, dan lain sebagainya.
a) Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme
(KKN)
Korupsi dan
Nepotisme hampir terdapat pada setiap aktivitas birokasi, baik di negara yang
sudah maju maupun di negara sedang berkembang.
Namun hal tersebut kebanyakan terjadi di negara sedang berkembang yang
biasanya sedang giat-giatnya membangun di segala bidang, di mana terkadang
banyak bantuan mengalir dari negara donor.
Tindakan birokrat yang melakukan korupsi pasti memiliki latar belakang
yang berbeda antara yang satu dengan lainnya. Sebagai contoh bahwa penyebab
tindakan korupsi karena berlakunya kewajiban tradisional kepada keluarganya dan
masih adanya sub struktur birokrasi patrimonial. Keadaan ini berdampak positif bagi mereka
tetapi akan merugikan negara secara menyeluruh.
Banyak faktor yang menyebabkan seseorang melakukan korupsi diantaranya
adalah sifat demonstration effect yaitu sifat seseorang yang tidak mau kalah
dengan penampilan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka iri dengan kehidupan teman kantor,
saudara atau tetangga yang memiliki tingkat pendapatan yang tinggi. Dilihat
dari aspek hukum, dimana seorang koruptor tidak dihukum secara layak,
menyebabkan orang lain juga memiliki keinginan untuk menirunya. Toh dia berpikiran nanti kalau ketahuan tidak
akan berdampak sangat buruk bagi diri maupun keluarganya. Lingkungan budaya korupsi seperti ini
menyebabkan akhirnya korupsi menjadi sesuatu yang lumrah yang akhirnya orang
menjadi apatis terhadap usaha untuk memberantas korupsi.
b) Paternalisme
Corak
paternalistik birokrasi di Indonesia lebih mencerminkan hubungan bapak dan anak
(bapakisme) dan hal tersebut dianggap lebih halus dibandingkan dengan hubungan
patron klien. Dalam konsep Jawa hubungan
antara atasan dan bawahan disamakan dengan posisi hubungan antara seorang anak
dengan bapaknya. Posisi anak dianggap
lebih inferior. Mereka tidak diberi
kebebasan untuk mengutarakan pendapat, kepintarannya dianggap rendah dan
walaupun lebih pintar dari bapaknya tidak boleh menggurui bapaknya. Karena
seorang pegawai merasa memiliki hutang budi pada pimpinannya dimana pimpinannya
dianggap mampu memberi perlindungan dan mencukupi kebutuhannya maka sang
bawahan wajib memberikan rasa hormat yang tinggi dan mendalam kepada
pimpinannya. Oleh karena itu maka yang menjadi ukuran pengangkatan atau
pemilihan pejabat atau pegawai semata-mata hanya didasarkan loyalitas dan
dukungannya. Bukan menggunakan merit
system yang seharusnya diterapkan yaitu suatu pemilihan dan pengangkatan
pegawai atau pejabat yang didasarkan pada keahlian dan kecakapannya. Dewasa ini
dapat dilihat para pejabat apakah itu setingkat Kepresidenan, Gubernuran,
Kabupaten, mereka bukanlah orang-orang yang terpilih atas dasar keahlian tetapi
semata-mata loyalitasnya. Semua
berlomba-lomba menunjukkan loyalitasnya saja.
Dengan demikian birokrasi patrimonialisme jelas sangat rawan terhadap
penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, kolusi serta
nepotisme (KKN). Secara
struktural dan kultural pengaruhnya sangat kuat.
INSTITUSIONAL
1)
Kendala Institusional
Untuk
meningkatkan peran dan kualitas birokrasi pemerintahan dalam memasuki era
globalisasi ini, maka sangat diperlukan
dukungan birokrasi yang andal dan professional.
Namun demikian untuk menciptakan birokrasi pemerintahan yang efisien dan
efektif organisasi pemerintah daerah nampaknya masih dihadapkan pada kendala
institusional yang perlu dicarikan alternatif pemecahannya sebaik mungkin.
Pada umumnya
secara organisatoris, struktur organisasi atau lembaga pemerintah cenderung
besar, di mana hal tersebut terlihat dari cukup banyaknya kotak-kotak sebagai
wadah jabatan struktural dan manajerial.
Dengan kondisi tersebut dapat
mengakibatkan makin panjangnya rantai hierarki dan pengawasan sehingga akhirnya
akan mengurangi kualitas pemberian pelayanan kepada publik karena makin
banyaknya titik atau simpul pembuatan keputusan.
Beberapa karakteristik dari organisasi
pemerintah yang menunjukkan ciri-ciri
birokratis:
a) Pemerintahan
diorganisir secara birokratis.
b) Sistem
penggajian organisasi pemerintah yang tidak memadai
c) Organisasi
pemerintah biasanya memiliki monopoli.
d) Organisasi
pemerintah hampir semuanya Diorganisir dalam bentuk hirarki berlapis-lapis.
2) Besarnya Aparat Birokrasi
Pada umumnya di
negara-negara sedang berkembang terdapat situasi yang paradoksal, di satu pihak
kekurangan pegawai yang cakap dan jujur, di lain pihak ada kecenderungan untuk
tumbuh secara tidak seimbang sehingga menyebabkan pengangguran tidak kentara
(disguised unemployment) dikarenakan berlebihnya pegawai yang tidak memenuhi
kriteria dan standar yang telah ditetapkan. Dari beberapa pendapat para pakar
maka di bawah ini diuraikan beberapa faktor yang mengakibatkan jumlah pegawai
negeri atau aparatur pemerintahan sangat besar:
a.
Pada umumnya
pelaksanaan pembangunan di negara sedang berkembang dan tingkat pertumbuhan ekonominya masih
rendah sehingga tidak banyak tercipta lapangan kerja terutama di sektor
produksi, sehingga semua perhatian tercurah ingin menjadi pegawai negeri
walaupun dengan gaji rendah. Apalagi
jika suatu negara berkembang tidak mempunyai kekayaan yang dapat dieksplorasi
dan dapat mengundang investor, maka pembangunan juga terbatas sehingga
menyebabkan kurang dapat menyerap tenaga kerja.
b.
Karena kurangnya
daya serap negara dalam menerima tenaga kerja, maka masalah pengangguran masih
menjadi kendala yang sebagian besar dihadapi oleh negara-negara sedang
berkembang. Untuk mengurangi tingkat
pengangguran serta mengurangi tindak kriminalitas yang mungkin dilakukan oleh para pengangguran yang
sebagian besar mempunyai tingkat pendidikan yang rendah dan tidak mempunyai
keterampilan tersebut maka pemerintah merekrut mereka sebanyak-banyaknya. Hal
itu dilakukan semata lebih ditujukan untuk kepentingan strategis, sehingga
kurang mementingkan tingkat keahlian yang diinginkan dalam setiap penerimaan
pegawai baru.
c.
Terdapat
kecenderungan orang yang sudah menjadi pegawai negeri untuk menarik saudaranya
untuk menjadi pegawai negeri juga.
Solidaritas yang dilakukan semacam ini karena pada umumnya dilakukan
untuk membantu saudaranya dan agar dianggap sebagai dewa penyelemat keluarga
atau keluarga besarnya karena mungkin mereka dari keluaraga yang kurang
mampu. Sehingga bagi mereka yang telah
menduduki jabatan sebagai pegawai negeri ada rasa keinginan untuk membantu
saudaranya. Kondisi seperti ini akan
rawan dengan KKN karena cara-cara
seperti itu dapat menyalahi aturan atau prosedur dalam penerimaan calon
pegawai. Apalagi bila informasi
penerimaan pegawai baru hanya dia yang mempunyai sehingga secara diam-diam dia
memberitahu saudaranya jika ada penerimaan pegawai baru, dan tidak mengumumkan
secara terbuka di media masa.
d.
Untuk sebagian
orang, menduduki jabatan sebagai pegawai negeri mempunyai derajat yang lebih
tinggi, dan bangga jika disebut sebagai pegawai negeri, walaupun gajinya
rendah. Yang penting status tersebut
dapat dimiliki dan membanggakan dirinya. Memang tidak dapat dipungkiri anggapan itu
dan masih ada sampai sekarang khususnya bagi orang-orang tua yang tinggal di perdesaan. Mereka menyekolahkan anaknya pada umumnya
tidak diarahkan ke sekolah di bidang profesional atau kejuruan, tapi ke bidang
yang terkait dengan kerja kantoran, terutama kantor pemerintah. Namun pandangan seperti ini untuk Indonesia
sudah jauh berkurang karena pandangan rasional yang muncul dimana status
pegawai negeri sudah mulai ditinggalkan dan bahkan bangga menjadi pegawai
swasta dengan gaji yang relatif tinggi, walaupun harus kerja sampai malam
hari.
DAMPAK BIROKRASI YANG BURUK
Perilaku
birokrasi yang buruk baik birokrasi sebagai individu maupun birokrasi sebagai
insitutsi mempunyai dampak yang mergikan masyarakat secara umum.
Adapun dampak birokrasi yang buruk
antara lain:
A) Inefisiensi Organisasi
Konsep
inefisiensi organisasi adalah usaha
pencapaian tujuan organisasi yang ditandai adanya kinerja yang kurang maksimal
seperti usaha kerja yang lamban, tidak mementingkan pelayanan yang baik, tidak
kerja secara penuh, kurang inisiatif dan
terlalu banyak formalitas. E. Strauss menyebutkan beberapa gejala-gejala
birokrasi yang tidak efisien, yaitu:
1) Terlalu percaya kepada presiden
Karena telah
tersusun dengan pola-pola birokrasi yang jelas terutama adanya otoritas atasan
dan bawahan maka membuat seorang atasan
terlalu dominan dalam segala hal.
Misalnya, dalam pengambilan keputusan, hak bersuara, seolah-olah dialah
yang paling menentukan segala-galanya termasuk mati hidupnya pegawainya. Sebaliknya, bawahan diharuskan patuh,
menurut apa yang dikendaki oleh atasannya, walaupun terkadang menyimpang dari
aturan formal yang berlaku pada organisasi tersebut sehingga sering terjadi
adanya ekspoitasi atasan kepada bawahan di luar tugas-tugas birokrasi, misalnya
terjadi skandal asusila antara atasan pria dan bawahan wanita.
2) Kurang inisiatif
Sistem birokrasi
memang dibentuk tidak banyak memberi peluang kepada anggota organisasi untuk
berinisiatif. Semua yang dikerjakan
sudah dalam bentuk perintah, keputusan,
aturan-atuarn yang terkadang kaku, tidak fleksibel, menurut aturan secara
ketat. Dengan demikian lama
kelamaan mereka yang berkecimpung di
birokrasi khususnya staf, hanya bekerja jika ada perintah dan bersifat menunggu
saja, dan harus sesuai dengan peraturan yang berlaku.Gejala birokrasi yang
tidak efisien menurut E Strauss adalah terlalu banyak formalitas, hal ini
dimaksudkan bahwa birokrat bekerja berdasarkan
aturan/surat keputusan yang sudah baku sehingga si birokrat harus
bersikap dan bertingkah laku formal, semua yang dikerjakan sesuai dengan
prosedur dan tidak berani menyimpang dari prosedur sehingga terkesan kaku dan sering membuat yang dilayani menjadi kesal.
3) Lamban dalam berbagai urusan
Lamban dalam
pekerjaan berarti para birokrat bekerjanya tidak cekatan dan kelihatannya tidak
ada motivasi dan etos kerja yang tinggi dalam melaksanakan pekerjaan, dan juga
menunda-nunda pekerjaan. Harusnya
pekerjaan tersebut dapat selesai dalam 3 hari, karena selalu menunda pekerjaan
itulah maka pekerjaan tersebut menjadi mundur sampai dengan 7 hari.
Beberapa penyebab urusan menjadi
lamban adalah:
- mereka merasa tidak ada manfaatnya secara
langsung bagi diri sendiri apabila mengerjakan pekerjaan sesuai dengan
waktunya atau malahan lebih cepat. Berbeda dengan birokrat yang langsung
berhubungan dengan masyarakat, maka sebagai ujung tombak mereka mungkin
akan mendapatkan imbalan secara langsung dari mereka yang dilayani. Bagi mereka hal itu akan menambah semangat
dalam bekerja. Namun sebaliknya, bila
pelayanan yang diberikan tersebut
tidak menghasilkan penghasilan
tambahan, maka mereka akan mengerjakan pekerjaan tersebut dengan
asal-asalan saja.
- birokrasi yang terlalu formal sehingga
menyebabkan terhambatnya pelayanan kepada masyarakat. Jika ada suatu pekerjaan yang perlu
ditandatangani oleh seorang pejabat yang berwenang kemudian pejabat
tersebut tidak ada maka tidak dapat diwakilkan kepada bawahannya. Hal seperti ini jelas akan merugikan
mereka yang membutuhkan pelayanan selain juga akan menyulitkan para
pegawai bawahannya yang sebetulnya mempunyai keinginan untuk membantu
mempercepat pekerjaan. Sebaliknya
ada kekawatiran, jika dokumen tersebut ditandangani ada kemungkinan
ketakutan dokumen tersebut tidak sah, tidak berlaku alias menyalahi aturan.
B)
Rendahnya Kepuasan Publik
Sampai saat ini
nampaknya kepuasan masyarakat terhadap kinerja birokrasi masih rendah. Sebagai contoh sewaktu jatuhnya pemerintahan
Soeharto, terjadi protes dan demonstrasi
yang dilakukan oleh berbagai komponen masyarakat terhadap birokrasi publik,
baik di tingkat pusat ataupun daerah.
Pendudjukan kantor pemerintah, pemaksaan oleh warga masyarakat terhadap
aparatur pemerintah, ataupun blokade jalan oleh masyarakat menunjukkan unsur
ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap kinerja birokrasi yang buruk. Selain itu seringnya kegiatan demonstrasi
yang muncul di media masa, menunjukkan betapa besarnya akumulasi kekecewaan
masyarakat terhadap birokrasi .
C)Menurunnya
dukungan masyarakat
Birokrasi masih
dipersepsikan dan dianggap sebagai alat
penguasa daripada pelayan masyarakatnya.
Kepentingan penguasa cenderung menjadi sentral dari kehidupan dan
perilaku birokrasi. Hal ini tercermin
dalam proses kebijakan publik yang kepentingan penguasa itu selalu menjadi
kriteria yang dominan dan seringkali menggusur kepentingan masyarakat banyak
manakala keduanya tidak berjalan bersama-sama. Kesempatan dan ruang yang
dimiliki oleh masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan publik
selam ini juga amat terbatas. Akibatnya,
banyak kebijakan publik dan program-program pemerintah yang tidak responsif
serta mengalami kegagalan karena tidak memperoleh dukungan dari masyarakat.
SOLUSI
Langkah-langkah dalam rangka pembenahan
kelembagaan birokrasi yang harus mendapatkan perhatian antara lain (Kristiadi,
1996) :
- Menyederhanakan struktur satuan organisasi
melalui kajian kelembagaan yang cermat dan objektif dengan mengembangkan
jabatan fungsional yang mengarah kepada spesialisasi dan prestasi.
- Mengembangkan jaringan kerja berdasarkan asas
fungsional dan keterkaitan sehingga mendorong berkembangnya mekanisme
kerjasama yang bersifat mutual adjustment dan networking model antara dan
antarinstansi dilandasi dengan informal relations.
- Mengembangkan institusi dalam arti capacity
building yang diimbangi dengan kualitas SDM yang makin meningkat melalui
program pendidikan dan pelatihan dengan dukungan rencana dan pola karir
yang jelas
- Menyusun berbagai standard operating procedures
(SOP) dalam berbagai bidang kegiatan agar terdapat pedoman yang tetap,
tanpa tergantung pada seorang pejabat sehingga memungkinkan berlangsungnya
sistem kerja yang mantap walaupun pejabatnya berganti karena mutasi atau
promosi.
- Mengembangkan pembentukan kader pimpinan sedini
mungkin untuk menempati posisi-posisi kunci berdasarkan sistem prestasi
kerja, dibarengi dengan pengakuan dan penghargaan bagi yang berprestasi
dan menindak bagi yang melanggar atau melakuan penyimpangan
- Mengembangkan keterbukaan dan peranserta dalam
penyusunan rencana dan program kerja termasuk dalam pengambilan keputusan
sehingga dapat menumbuhkan kebersamaan dan rasa memiliki tanggung jawab
organisatoris.
Pelaksanaan reformasi birokrasi pemerintah harus mampu
mendorong perbaikan dan peningkatan kinerja birokrasi pemerintah, baik pusat
maupun daerah. Kinerja akan meningkat apabila ada motivasi yang kuat secara
keseluruhan, baik di pusat maupun di daerah. Motivasi akan muncul jika setiap
program/kegiatan yang dilaksanakan menghasilkan keluaran (output), nilai
tambah (value added), hasil (outcome), dan manfaat (benefit)
yang lebih baik dari tahun ke tahun, disertai dengan sistem reward dan punishment
yang dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan. Kunci keberhasilan pelaksanaan reformasi
birokrasi terletak pada beberapa hal berikut(Lampiran Peraturan Presiden No.81
thun 2010).
a. Komitmen Nasional
Komitmen nasional ditunjukkan dengan adanya
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025, Peraturan Presiden
Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014 yang menegaskan reformasi birokrasi
sebagai prioritas utama, dan Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2010 tentang
Pembentukan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Tim Reformasi
Birokrasi Nasional.
b. Penggerak Reformasi Birokrasi
Penggerak reformasi birokrasi secara nasional adalah
Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dipimpin oleh Wakil Presiden
Republik Indonesia, Tim Reformasi Birokrasi Nasional dipimpin oleh Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dibantu oleh Unit
Pengelola Reformasi Birokrasi Nasional, Tim Independen dan Tim Quality
Assurance. Selanjutnya, secara instansional penggerak reformasi birokrasi
adalah pimpinan K/L dan Pemda. Penggerak reformasi birokrasi harus berdaya
tahan tinggi terhadap tantangan dan hambatan serta memiliki daya dobrak dan
kreativitas untuk melaksanakan program-program terobosan, baik secara
horisontal maupun vertikal.
c. Muatan Reformasi Birokrasi
Muatan reformasi birokrasi dirumuskan dalam GDRB
2010-2025, RMRB 2010-2014, RMRB 2015-2019, dan RMRB 2020-2024. Pelaksanaan
reformasi birokrasi dilakukan dengan penetapan prioritas K/L dan Pemda
berdasarkan kepentingan strategis bagi negara dan manfaat bagi masyarakat.
d. Proses Reformasi Birokrasi
Proses reformasi
birokrasi dilakukan dengan cara:
1) Desentralisasi
Setiap K/L dan Pemda melakukan langkah-langkah
reformasi birokrasi dengan mengacu kepada GDRB 2010-2025 dan RMRB 2010-2014 dan
seterusnya, sesuai dengan karakteristik masingmasing institusi.
2) Serentak dan bertahap
Penyebarluasan pemahaman tentang GDRB 2010-2025 dan
RMRB 2010-2014 dan seterusnya, dilakukan secara serentak kepada seluruh K/L dan
Pemda dalam rangka efektivitas pencapaian target sasaran pelaksanaan reformasi
birokrasi. Setiap K/L dan Pemda memiliki karakteristik yang berbeda sehingga
reformasi birokrasi dilakukan dengan titik awal dan kecepatan yang berbeda.
Format yang sama diterapkan untuk K/L dan Pemda secara bertahap sesuai dengan kesiapan
masing-masing K/L dan Pemda.
3) Koordinasi
Reformasi birokrasi
dilakukan dengan langkah-langkah yang terkoordinasi secara nasional dengan
acuan GDRB 2010-2025 dan RMRB 2010-2014 dan seterusnya. Reformasi birokrasi dikoordinasikan
secara nasional oleh Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional, pelaksanaan
sehari-hari dilaksanakan oleh Tim Reformasi Birokrasi Nasional, dan
implementasi program-program dilaksanakan oleh K/L dan Pemda, serta dimonitor
dan dievaluasi
KESIMPULAN
Pertumbuhan kekuasaan dalam birokrasi pemerintah sejalan dengan tumbuh
dan berkembangnya pemerintahan itu
sendiri. Tumbuh dan berkembangnya pemerintahan itu adakalanya disebabkan karena
berkembangnya fungsi sosio-ekonomi, karena tekanan ideologi dan politik untuk
mengembangkan pendapatan. Adakalanya karena pengaruh klasifikasi dari kegiatan
kebijakan publik. Ada juga karena kenaikan budget dan bertambahnya personal
yang mengerjakan kegiatan-kegiatan pemerintah. Kesemuanya itu membawa pengaruh
yang besar sekali bagi masyarakat. Lebih dari itu tidak ada lagi organisasi
masyarakat lainnya yang mempu menandingi kekuasaan yang tumbuh dan berkembang
pada pemerintahan.
Aparatur harus sadar bahwa reformasi birokrasi akan
mengubah birokrasi pemerintah menjadi birokrasi yang kuat dan menjadi
pemerintahan kelas dunia, yang mampu memberikan fasilitasi dan pelayanan publik
yang prima dan bebas dari KKN. Untuk itu, reformasi birokrasi harus dilakukan
secara sungguh-sungguh, konsisten, melembaga, bertahap, dan berkelanjutan.
Dengan demikian, diharapkan akan terbentuk birokrasi yang mampu mendukung dan
mempercepat keberhasilan pembangunan di berbagai bidang. Kegiatan ekonomi akan
semakin meningkat dan secara agregat akan mendorong pertumbuhan ekonomi
lebih tinggi. Dengan kegiatan ekonomi yang semakin luas, akan tersedia basis
penerimaan negara yang lebih besar untuk membiayai keberlanjutan reformasi
birokrasi dan pembangunan di bidang lainnya yang lebih luas.
Birokrasi dalam suatu Negara sudah pasti ada dan terlaksanan hanya saja
bagaimana cara penerapan yang semestinya dan yang diharapkan oleh masyarakat,
oleh sebab itu dalam menjalankan birokrasi harus sesuai dengan tugas yang
diemban yang dikerjakan dengan professional, serta dalam birokrasi tersebut
harus adanya aspek transparansi atau keterbukaan dan efisien serta efektifitas
dalam pelaksanaannya dan secara periodik, berkelanjutan, dan melembaga.
DAFTAR PUSTAKA
·
Effendi, Sofian (1995) “Kepemimpinan Birokrasi Publik Pasca 2000: Fungsi, Kualitas dan system
Pendidikan “, Seminar Jurusan Ilmu Adminstrasi Negara Fisipol UGM,
Yogyakarta.
·
Lampiran
Peraturan Presiden No 81 Tahun 2010 Grand Design Reformasi Birokrasi
2010-2025.
·
Madjid, Nurkholis (1999) “Masyarakat Madani dan Investasi demokrasi” Tulisan dalam Harian
Republika, tgl 9,10,11 Agustus 1999.
·
Maschab, Mashuri (1983) ”Kekuasaan Eksekutif di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.
·
Thoha, Miftah (1999) ”Membangun Kembali Birokrasi Pemerintah”, Dalam Harian Umum Republika, 8 November
·
Thoha, Miftah(2003) “Birokrasi dan Politik di Indonesia” Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Tjokrowinoto, Moeljarto (1998) Reposisioning Birokrasi Pemerintah” ,
Makalah Seminar Nasional Mahasiswa Administrasi Negara, Unhas, Ujung Pandang.